Untuk Kak Fajar

dari adik kelasmu di seragam putih abu

Zury Muliandari
5 min readJun 2, 2020

Kebayoran Baru, 27 November 2019.

kamu : “kk udah di kebayoran ya”

saya : “lagi di grab nih, kk udah sholat emang? tadi aku sholat dulu”

kamu : “udah dong”

saya : “kk dimananya? depan stasiun banget?”

sesaat kemudian, gawai saya berdering,

“halo, kamu tunggu depan indomaret yang di parkiran aja ya, nanti kk ke sana”

setelah panggilan itu tertutup, keheranan saya malah terbuka “ya tuhan, kenapa manusia ini kalo ngomong suaranya lembut banget, belum ketemu aja gue udah senyum-senyum sendiri, no no no, pokonya gue harus stay cool, harus nunjukin muka yang biasa aja dan gaboleh kelewatan seneng!” bisikku ke telinga sendiri.

nggabisa, tapi nggabisa. saya nggak tenang, dan tiba-tiba saya jadi pecicilan, padahal di depan indomaret lagi banyak orang. “aduh kenapa sih zuryyyyyy” oke, sekarang saya putuskan lebih baik masuk ke dalam dan memilih minuman yang biasanya jadi obat penenang kalau saya lagi deg-deg-an.

akhirnya saya beli minuman ini, hehe

tak lama, kamu muncul di hadapan saya. tersenyum, sambil bilang, “assalamualaikum”

saya bahkan belum sempat merhatiin langit, apakah malam itu banyak bintangnya atau enggak, apakah malam itu ada bulan sabit yang nggemesin atau enggak, apakah malam itu lampu-lampu di jalanan cahayanya cukup terang atau enggak. kalau saja saya sempat, pastilah semua ornamen tersebut udah ngeledekin saya karena tahu banget saya lagi salting tingkat dewa.

setelah beberapa detik saya mematung di hadapanmu, kamu berjalan dan memecah keheningan, membuka obrolan kecil, menawarkan makan bakso atau mie ayam, dan menjawab pertanyaan saya soal kenapa kamu sudah wisuda tapi nggak bilang-bilang.

hm, saya ingat waktu itu kamu pakai kemeja, tapi lupa bermotif apa karena kamu lapisi jaket di luarnya. yang saya ingat juga, kamu pakai celana warna mocca. sementara saya, hampir setiap ketemu orang sepertinya selalu mengenakan baju berwarna cokelat. alasannya, mungkin agar suasana terasa hangat. hehe

pasar kebayoran yang riuh dan ramai sedikit menyelamatkan kecanggungan, mengedarkan pandangan ke arah para penjual sayur, buah, ikan, dan rempah-rempah yang masih berteriak menawarkan dagangannya membuat hati saya lebih damai, setidaknya teriakan mereka mewakili tenggorokan saya yang juga sedang ingin bersuara kencang.

“tadi kk liat di atas sana ada kafe, tapi nggatau tangga naiknya darimana, nggak keliatan. mau ke sana ngga?” katamu sambil menunjuk ke arah barisan kedai di depan stasiun kebayoran.

“boleeeh”

tak jauh berjalan kaki, kita sudah berada di tangga yang tidak kau temui keberadaannya tadi. mungkin beberapa tangga memang hobi bersembunyi, misalnya seperti tangga menuju kesuksesan yang susah dicari sampai orang-orang rela membayar banyak rupiah hanya demi meminta petunjuknya pada motivator-motivator hebat. atau tangga menuju hati seseorang yang kau cintai hingga saat mencarinya mesti patah hati berulang kali.

“selamat datang mba, mas. mau pesan apa? kebetulan kafe kami baru buka, dan ini hari perdananya, jadi ada diskon 10%” duh, manis sekali sambutan sang pelayan, yang lebih manis sih, rejeki karena dapet potongan. haha

dua gelas cappucino dan satu roti bakar cokelat+keju mozarella kemudian jadi pilihanku yang disetujui olehmu.

setelah bingung mau duduk dimana, mataku langsung tertuju ke meja kayu panjang yang ditemani dua kursi, terletak menawan di beranda kafe paling depan. dari meja itu, terlihat luasnya selatan jakarta yang sesak dipenuhi kemacetan. suara klakson dari banyak kendaraan yang pengemudinya mungkin sedang amat kelelahan sungguh terdengar bising dan menyebalkan. memandang tepat ke arah depan, ada apartemen pakubuwono yang bergandengan sama binus school, berdiri tegak mencakar awan, memamerkan sebuah kemegahan yang dipercantik kerlip lampu keemasan.

selama menunggu menu pesanan datang, kau sibuk memegang gawai. awalnya saya kesal, “apaan sih ni orang bukannya ngajak gue ngobrol malah main hp” namun setelah sedikit mengintip layarnya, kemudian merasa berdosa sebab sudah kesal tanpa aba-aba. “ohh, lagi tilawah”. seumur-umur saya jalan sama orang, baru kamu yang ketika bertemu sempat-sempatnya membaca al-qur’an. entahlah, mungkin ada target harian yang harus kau tunaikan, atau karena saat itu memang masih waktu magrib, jadi mungkin sayang kalau aktivitas tersebut dilewatkan. dan saya, akhirnya main gawai juga. memotret apapun yang ada di sekitar saya dengan kamera oppo yang tak pernah buat saya kecewa. langit, kereta, pedagang kaki lima, semua abadi dalam beberapa jepretan saja.

“jadi mau cerita apa?” pertanyaan singkatmu seketika mengubah suasana yang tadinya dingin menjadi hangat.

Tajurhalang, 3 Juni, 2020.

ingatan saya sedang kembali pada beberapa kalimat yang kau ucapkan malam itu,

“kita sering jadi pendengar buat banyak orang, tapi sering lupa dengerin suara sendiri. coba dengar suara hati kamu”

“kk nggak se-ceria yang kamu liat, sering murung juga”

“kadang kk lebih nyaman ngobrol sama pedagang di pasar daripada sama atasan di kantor”

“pemimpin ya memang harus memprovokasi, cerdas mempengaruhi, dan kk nggamau anggota kk nanti dapet pengaruh yang nggabaik”

“kk suka bingung kalau harus cerita dan jelasin apa yang lagi kk rasain ke manusia, karena respon mereka juga cuma jadi kalimat penenang sementara yang kadang malah udah kk tebak sebelumnya. makanya cerita sama Allah aja, lebih lega, rahasia kk aman sama Dia”

dan banyak kalimat lainnya yang gemetar kalau saya tulis di sini. terimakasih, ya, karena malam itu sudah mau meluangkan waktu untuk mendengar ocehan saya. dan juga malam-malam lain yang pernah kau peruntukkan secara daring mendengar ocehan saya yang nggak penting.

mungkin saya bukan perempuan yang kau rindukan untuk mengucap selamat di hari kelahiran, atau kau malah tak memerlukan ucapan-ucapan klise semacam itu. dan memang apa yang pantas di-selamat-kan dari usia yang semakin berkurang?

namun momentum seperti ini menurut saya tetap perlu dirayakan, mungkin bukan dengan kemewahan tetapi bisa jadi dengan keheningan, dengan doa, serta dengan senyum karena sampai sejauh ini langkahmu masih bertahan pada jalan hidup yang seringkali menggoda engkau untuk pulang dengan kesia-siaan.

kalau kata Maudy Ayunda dalam lirik lagu perahu kertasnya, “ku bahagia kau telah terlahir di dunia, dan kau ada di antara milyaran manusia, dan ku bisa dengan radarku menemukanmu”

iya, menemukanmu sebagai kakak kelas yang enam tahun silam sedang serius berpidato di lab fisika dan sampai beberapa jam tadi masih ngechat saya di whatsapp (walaupun dengan pesan yang ngeselin) adalah kebahagiaan buat saya.

kak, kau tak boleh menua tanpa bermakna, maka teruslah ahli menanam bahagia pada tiap detak jantung manusia. tak apa meski tak berbunga, tak apa jika nanti tak selalu manis rasanya. yang penting, dihadapan langit kau senantiasa berusaha untuk menjadi sebaik-baiknya hamba. doaku menyertaimu tanpa jeda.

dan, selamat ulang tahun, kak Fajar

abis corona ilang, foto kaya gini lagi ya?

--

--

Zury Muliandari
Zury Muliandari

Written by Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy

Responses (2)