Spektrum Waktu
kiblatku adalah arah mata angin yang kepada matahari ia menatap sayu, kemudian bersujud di atas sajadah dari banyak ranting kecil yang pura-pura lugu.
aku, mahir sekali mencipta anomali dalam ruang pikirku sendiri. termasuk juga merawat distraksi--aku sangat ahli.
tadi sore aku bertemu dengan masa depan, ia tidak terlihat suram namun mirip dengan keris yang tajam.
mati sebelum menggenggamnya ialah sebuah kemungkinan, sementara hidup setelah memilikinya merupakan ketidakpastian.
percayalah aku tak berjumpa dengannya sebagai gunung tinggi yang akan lelah didaki atau laut lepas yang harus sabar diselami. pada memoriku ia terekam jadi museum yang jarang orang-orang kunjungi, sepi.
seharusnya museum adalah tapak dari masa lalu, kan? tetapi aku malah menemuinya sebagai jejak milik masa depan.
kau tahu? anehnya museum itu kosong. tak punya koleksi, bahkan tak ada impresi untuk diberi arti.
apakah ia sedang menanti diisi dengan sejarah yang kutulis hari ini? dengan benda-benda, rasa, karsa, dan nuansa yang kutemui saat ini?
kalau begitu, maka masa depan; tidak ada. sebab ia hanya angka-angka ganjil, dan sekarang adalah genapnya.
masa depan tak pernah datang untuk aku yang masih alfa menghadirkan "sadar" di hari ini, masa itu juga tak lebih dari sekadar ilusi bagi seorang aku yang terus sok tahu dengan maha suci spektrum waktu.
mengenai cara kerjanya, cara meledaknya, cara memberi kejutannya, cara merahasiakan maknanya. seharusnya aku tak perlu, memikirkan semua itu dengan terlalu.
ketika sore pergi, usai magrib aku kembali ngaji--dari perkataan khalifah yang satu ini :
“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku takkan pernah melewatkanku” — umar bin khattab
tetapi kiblatku masih sama saja, masih ke sana, seperti yang sudah kau eja di kalimat pertama.