putus (lagi)

Zury Muliandari
2 min readOct 15, 2023

--

rasanya kayak, hampa — kosong; nggak bisa nangis. tapi mau ambruk juga.

Photo by Daniel Tafjord on Unsplash

track record cerita cinta saya (belakangan ini) agak aneh. dari fragmen keanehan itu, yang paling membingungkan adalah respon saya terhadap situasinya.

dulu, saya tuh kalo galau brutal banget:’) bisa tiga puluh hari nggak berenti nangis. di kamar, di kereta, di kampus, di lampu merah. lagi makan, lagi bengong, bisa aja tbtb air matanya ngalir. pokoknya se-lebay itu. tiap hari adaa aja puisi patah hati yang saya tulis. dua kisah diantaranya saya terbitkan jadi novel:’)

sekarang, saya bahkan nggak bisa nangis. mungkin sedikit sedih, tapi sama sekali nggak ganggu aktivitas saya. malah saya lupa kalau sedang tidak punya pasangan. saya lupa kalau beberapa minggu lalu seorang pria telah mematahkan (lagi) hati saya.

saya marah. saya kecewa.

tapi saya tidak menyesal, saya hanya membiarkan dia pergi begitu saja. kemudian menutup semua akses komunikasi antara saya dan dia. dan itu cukup.

rasanya sangat melegakan mengetahui kenyataan pahit. karena saya tidak perlu menelan kepahitan itu untuk waktu yang lebih panjang lagi.

saya nggak nyangka sebab saya yang lemah ini menjadi begitu berani untuk memilih diri saya sendiri. saya juga nggak keras kepala bertahan dalam hubungan yang hmm sulit dijelaskan.

butuh kejernihan pikiran dan keluasan hati yang amat besar untuk menerima kondisi seperti ini. bagaimanapun, tidak ada orang yang mau berpisah dengan kekasih yang dicintai. saya pun nggak mau. tetapi saat ini, satu-satunya nama yang paling saya kasihi adalah nama saya sendiri.

saya hanya ingin membersamai diri saya dalam ketenangan dan kebahagiaan. maka bila seseorang yang berada di dalam hati saya tak mampu melakukan hal serupa, tentu akan saya bukakan pintu keluarnya.

saya pikir, untuk apa menahan kepergian seseorang dari hidup saya? untuk apa meyakinkan seseorang perihal cinta? untuk apa bercinta dengan keraguan? karena sungguh perasaannya tidaklah mati, kan? perasaannya hidup dan memahami lebih dari yang saya paksakan agar terjadi.

sementara saya tak ingin memaksakan apapun. saya percaya, jika ia takdir saya, mudah baginya untuk memenangkan cinta kami.

nyatanya memang banyak kesamaan antara kami. banyak sekali. dan yang paling sama adalah; kami sepakat tidak ingin memulai kembali. kami selesai di sini.

bukan karena saya menyerah. bukan karena saya berhenti menyayangi. bukan karena saya tidak menaruh juang dalam hubungan kami. saya hanya tak ingin kami saling melukai. diri saya terutama, saya merasa layak dipulihkan — oleh keputusan-keputusan yang sehat.

sederhananya, saya ingin jatuh cinta dan sakit yang sewajarnya. jadi, putus kali ini adalah alarm untuk lebih bijak merawat hati:’)

--

--

Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy