Pandemi
membaca judul di atas, mungkin si corona akan bilang; "lihatlah, bumi begitu sunyi dan satu-satunya yang ramai hanyalah
kecemasan di kepala kalian."
Surat Cinta untuk Corona
diketik Zury, setengah gila
Heii, kamu bentuknya gimanasih?
Aku pengen kenalan, tapi takut kamunya naksir terus nempel-nempel di badanku, kan ilfeel:(
Btw kamu siapa yang kirim ke sini? Kesel, ya? Ngeliat kelakuan manusia nggak ada akhlaknya? Makanya kamu jadi tega rebut nyawa mereka?
Tapi kamu keren deh. Walau selalu dibenci, kehadiranmu tetep ngasih pesan buat planet ini.
Sejak kamu datang, aku makin percaya kalau nggak ada sesuatu yang terjadi di dunia tanpa makna. Sekalipun itu hal paling ngga guna.
Ternyata, "jaga jarak" penting banget, ya? Aku baru paham kalau kasih sayang bentuknya beneran beragam. Nggak selalu yang dekat mampu lindungi, bahkan bisa jadi paling menyakiti. Pun nggak menutup kemungkinan, kalau yang jauh justru menjaga sepenuh hati. Sedang di antara keduanya, cuma jarak yang bicara.
Karena hal itu juga, aku jadi sadar bahwa dengan tau "posisi diri" adalah cara termudah untuk belajar adaptasi, dalam konteks apapun.
Dan sepertinya, kedewasaan memang dimulai dengan peka terhadap kebersihan. Pantes aja, jadi bagian dari iman. Akutu, termasuk orang yang lalai, loh. Mana inget kemana-mana bawa handsanitizer, biasanya juga pulang main auto rebahan, jarang-jarang langsung mandi. Tapi sekarang, hmm aku lebih ribet dari mama.
Hei, Corona, aku nggak pernah setakut itu sama kematian. Lalu kamu tiba-tiba bikin prosesi pemakaman jadi menyedihkan. Dulu, aku punya trauma sih, waktu kampungku dilanda tsunami. Istilah "kuburan massal" jadi ngeri di telinga. Meninggalkan dunia tanpa air mata keluarga tuh rasanya ..... hampa banget nggak sih? Maksudku, kasian Ayah-Mama, pasti pengen ngeliat jasad anaknya untuk yang terakhir. Begitu juga sebaliknya.
Sementara untuk wajah penuh topeng ini, rasanya masker jadi benda yang sarkas. Manusia emang butuh "penutup" karena nggak semua hal boleh dibuka sembarangan, malah akhirnya nanti jadi bahaya berkepanjangan. Terutama, yang terkait dengan lisan.
Dan rumah,
Tetep harus di rumah aja meski nggak semua orang tahu alamat rumahnya ada di mana. Meski nggak semua orang, merasa baik-baik aja ketika mereka bernaung di dalamnya. Tapi yang namanya perjalanan, kemana lagi kalau nggak "pulang" (?) Sekalipun itu menuju ketidakpastian.
Hm, aku pengen waktu nanti kamu sudah dapat jatah pulang, kamu jadi ingatan paling ampuh yang bisa negur aku untuk selalu menghargai kehidupan.
Itu aja.
Gih, sana gih. Udahan main di buminya udahan. Boseeeeeeen!!
Tulisan ini adalah bagian dari proyek menulis bersama yusmar abdillah , RN Nabila dan Andani