Hanya Refleksi

Zury Muliandari
3 min readJul 4, 2019

--

Aku iri dengan orang-orang yang banyak bicara. Mereka biasanya lebih mudah dikagumi, dikenali, diingat, pun diberi apresiasi.

Orang-orang yang banyak bicara, selalu mahir menularkan atmosfir bahagia. Karena selain bicara, seringkali mereka memiliki aura positif dan menawan saat tertawa. Walau mungkin, luka di dadanya sedang perih malahan menganga.

Tapi coba lihat orang-orang yang diam? Mereka dilukis rasa murung. Jangankan membuat orang lain tersenyum, menenangkan resah di hatinya sendiri pun mungkin sudah untung.

Dan aku tidak bisa menjadi orang yang terlihat menyenangkan. Juga tidak tahu bagaimana caranya memeluk kesedihan agar tidak berlarian lalu ditangkap banyak orang.

Ohiya,

Tadi sore aku bertemu teman kosanku yang lama. Usai sholat ashar, kami berbincang seadanya. Aku yang riuh dengan kegembiraan atas kepuasanku memotret banyak momen saat liburan kemarin, malah kalah dengan dengan sesuatu yang lain. Yang tak sedikitpun ku ungkapkan padanya.

Lucunya dia bertanya, “Zury, lo stress? Lo kenapa deh? Muka lo kaya cape banget?”

Aku tak bisa lagi berpura-pura. Ternyata, menyembunyikan duka selalu sia-sia jika sudah berhadapan dengan seseorang yang mengerti lebih banyak tentang kita.

Aku menggaruk kepala, bingung mau menjawab apa.

Padahal, seminggu yang lalu baru saja aku menangis tersedu di kamar kosnya.

Tapi bukan, bukan karena itu. Aku betul-betul kehilangan kata-kata bahkan untuk sekadar menjelaskan kalau aku sedang kenapa. Aku tak bercerita banyak, aku tahu dia sudah lebih paham dengan raut wajah yang tak bisa kuajak kompromi untuk sedikit terlihat riang.

Terakhir dia bilang, “Zury, mata pandanya. Jangan minum kopi terus, ntar tiap malem lu makin gabisa tidur. Coba deh, pelan-pelan dikurangin. Itu kasian matanya.” Aku protes. Aku nggak minum kopi sesering itu, kok. Karena tanpa minum kopi pun aku memang susah tidur. Ah, akhirnya aku pamitan. Rasanya malu kalau orang lain bisa semudah itu membaca kegelisahanku.

Lalu aku berjalan menuruni satu persatu anak tangga masjid kampus yang sepi. Temanku kembali berteriak dari tempat kami berbincang tadi, “Zur, langsung ke kosan?” “Enggak, mau ke gramed.” Jawabku singkat. “Sama siapa? Sendirian?” Tambahnya. “Iyaa, sendirian. Selo.” “Hati-hati Zury!!” Tegasnya lantang. Dan lagi-lagi, aku benci dikhawatirkan.

Saat ini, aku benar-benar sedang sangat sulit untuk bisa terkoneksi dengan banyak orang. Bagiku, orang-orang sudah terlalu ramai dengan Tuhannya masing-masing. Mereka menyembah apapun yang baginya itu menguntungkan. Mereka menyembah gawai seperti halnya tega membiarkan teman bicaranya berdialog dengan angin yang tak pernah lagi segar berlalu lalang diudara kota. Mereka menuhankan skincare, yang ketika itu tak melengkapi parasnya maka manusia seolah terlihat buruk rupa dan tak layak hidup di dunia. Mereka menuhankan makanan dan pakaian seperti tak bisa bernapas tanpa kualitas terbaik dari keduanya.

Aku muak dengan gaya hidup orang-orang kota yang mobilitasnya tinggi, cepat, instan, mewah, mahal, angkuh, dan lupa bahwa semua hal yang mereka punya hanyalah materi yang fana.

Ah, tapi aku juga muak dengan diriku sendiri. Aku yang terus saja bertengkar dengan logika tanpa pernah melibatkan hati di dalamnya. Aku menyangkalkan kesedihan. Aku memaksa semua hal yang terjadi agar selalu baik-baik saja dan menyikapinya dengan perilaku paling bijaksana. Padahal, manusia punya berbagai emosi. Aku berhak sedih, marah, kecewa, atau bahagia. Hm, selama ini aku hanya ingin terus menerus tertawa. Sampai lupa jika hidup adalah tentang mencintai cacat dan sempurna. Menerima, bahwa ada 2 entitas yang selalu berdampingan, dan tak bisa dilawan. Tentu tak mengapa bila aku bersedih. Sedih bukanlah lambang kebodohan atau kelemahan, bukan? Itu tanda bahwa aku masih utuh menjadi manusia.

Hm, mungkin seharusnya kesedihan itu diberi ruang, bukannya dibuang. Dengan begitu, ke depannya aku lebih lega untuk merangkul keduanya. Hitam dan putih, baik dan buruk, luka dan sembuh, sakit dan sehat, lemah dan kuat, tenang dan marah. Semuanya, harus seimbang, Zury!

:: Ini memang catatan untuk diriku sendiri. Seperti refleksi, tapi lebih menyentil agar esok segera menjadi manusia yang lebih tahu diri. ::

--

--

Zury Muliandari
Zury Muliandari

Written by Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy

No responses yet