Ngelantur

Zury Muliandari
2 min readJun 26, 2020

--

Aku telah menghapus entah berapa kalimat untuk memulai tulisan ini. karena sesungguhnya aku sedang tidak ingin menulis, aku ingin menjerit. Tetapi mau bicara apa kau soal kebebasan? Hak asasi? Perlindungan? Kemanusiaan? Haha, malangnya untuk menyelamatkan diri dari diriku sendiri saja aku tak punya kendali.

Namun aku mencintai saat-saat seperti ini, saat seharusnya aku melakukan hal-hal di luar nalar, tapi kepada kata-kata aku memilih liar. Saat seharusnya aku bersemangat untuk marah, aku malah menjadi semakin lemah. Ternyata aku serapuh ini bahkan untuk mengeluh. dan terlalu pecundang dalam urusan meminta pertolongan. Tetapi mungkin sebab satu hal aku mampu tenang, karena menjadi muslim masih terasa begitu nyaman, setidaknya bagiku yang meski jauuuuh dari kata beriman.

Sebentar, aku ingin mengutip kata-kata dari Buya Hamka yang sejak dulu selalu jadi penawar duka.

“Manakah yang besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam? Yang di dalam surga bersenang-senang dengan istrinya, lalu disuruh ke luar.

Dan manakah yang susah penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Nuh, yang menyeru umat kepada Islam, padahal anaknya sendiri tidak mau mengikuti? Sehingga seketika disuruh Tuhan segala ahli kerabatnya naik perahu, anak itu tidak ikut. Malah ikut karam dengam orang banyak di dalam gulungan banjir. Di hadapan matanya! Dan kemudian datang pula vonis Tuhan bahwa anak itu bukan keluarganya.

Pernahkah kita lihat cobaan serupa yang ditanggung Ibrahim? Disuruh menyembelih anak untuk ujian, ke manakah dia lebih cinta,kepada Tuhannyakah atau kepada anaknya?

Yakub dipisahkan dari Yusufnya.

Yusuf diperdayakan seorang perempuan.

Ayub ditimpa penyakit yang parah.

Daud dan Sulaiman kena bermacam-macam fitnah.

Demikian juga Zakaria dan Yahya. Yang memberikan jiwa mereka untuk korban keyakinan. Isa al-Masih pun demikian pula. Muhammad lebih-lebih lagi.

Pernahkah mereka mengeluh?

Tidak, karena mereka yakin bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghendaki perjuangan dan keteguhan. Mereka tidak menuntut kemenangan lahir. Sebab mereka menang terus.

Mereka memikul beban seberat itu, menjadi Rasul Allah, memikul perintah Tuhan karena cintakan manusia. Oleh karena itu mereka tempuh kesusahan, pertama membuktikan cinta akan Tuhan, kedua menggembleng batin, ketiga karna rahim yang sayang dan segenap umat.”

Akhirnya setelah lama mengering, sungai di sini basah lagi. Lalu bagaimana dengan sungai di wajahmu? Mengalirlah. Karena gara-gara kesedihan, kemarahan, kekecewaan, kegagalan, dan kemalangan lain-lainnya, kita sungguh belajar banyak untuk bahagia dari yang sedikit. Untuk tersenyum dari yang pahit. Kuatlah

--

--

Zury Muliandari
Zury Muliandari

Written by Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy

No responses yet