mengukur jalan panjang ketakutan
mau ngoceh sebentar, boleh ya?
pada beberapa momen terakhir saya kerap spontan mengatakan kalimat, “oh begini rupanya menjadi …” “oh gini rasanya …” “oh jadi gitu ya …” hingga, “oh ternyata persis dengan ketakutan saya”
lalu saya malah gak habis pikir bagaimana menuju angka dua lima harus menghadapi perasaan ‘aneh’ setiap harinya. memang bukan badai, tapi kerikil-kerikil kecil itu justru buat saya kesusahan berdiri di atas keyakinan utuh. seolah banyak sekali mimpi-mimpi yang dipaksa menjauh. seolah diri kok ya makin lama makin rapuh. seolah kenyataan tak henti-hentinya mengajak saya mendengarkan cerita tentang kejutan dan balon-balon misterinya. kayak mau pecah gitulhoo, kepala saya. kamu gini juga nggak sih?
akhirnya saya banyak menghabiskan waktu dengan beragam upaya menenangkan kecemasan. inhale, exhale.
berharap tak lagi keras kepala pada apa yang tak bisa saya jaga. biarlah kali ini tangan semesta yang bekerja, memberi saya pena untuk menulis apa yang hanya mampu saya tulis (namun semoga tetap memberi saya skena untuk membaca sebanyak yang tak sanggup saya cerna).
malu sih, kalau bilang “jadi orang dewasa itu nggak enak” sementara fase inilah yang saya tunggu sejak lama. mungkin, asumsinya akan menjadi, “dewasa tak membahagiakan, dewasa menganggumkan”
nyatanya saya selalu kepayahan memaknai setiap tanda yang hadir dalam hidup saya, hanya melewatinya begitu saja hingga pada linimasa berikutnya barulah saya akan menyesal dan kembali memeluk keragu-raguan.
tapi kali ini saya nggakmau begitu lagi. saya ingin percaya dengan diri saya sendiri. saya bahkan ingin, jadi yang paling memercayai. sebab orang-orang di luar sana juga sibuk memercayai keraguan mereka masing-masing, kan?
takut. seberapa panjang jalan ketakutan itu? seberapa banyak lagi yang harus saya tempuh? selantang apa kebebasan akan bicara dengan deru kesunyian yang merahasiakan sakitnya di dada sebelah kanan sebelum pejam setiap malam?
nggatau deh, idup emang gitu kan? semoga pendek usiamu, rasa takut.