Mengenal Arah Langkah Ekofeminisme
“… ecology has never left our minds. today we work for ecopeace, ecojustice, ecoeconomics, ecopolitics, ecoeducation, ecophilosophy, ecotheology, and ...ecofeminism.” (Charlene Spretnak 1990:6)
Alam dan perempuan merupakan maha karya yang seksi, maka lazim jika keduanya nikmat dieksploitasi, pun jadi komodifikasi dari kemiskinan nurani. Melintasi abad, fenomena ini terus dikritisi hingga menuai beragam reaksi. Khususnya di negeri kita, rasanya sensitif sekali bila banyak bicara soal relasi antara budaya patriarki dan implikasinya terhadap kerusakan bumi yang serta merta mudah dimaklumi.
Vandana Shiva, adalah seorang filsuf dan aktivis lingkungan asal India yang memiliki peran penting dalam gerakan ekofeminisme dunia. Menurut Shiva, manusia adalah penyebab ambruknya kualitas bumi, manusia dinilai terlampau asik memuaskan syahwatnya tanpa mempedulikan akibat pada dimensi ekologi.
Diketahui bahwa ekologi sendiri memiliki suatu keistimewaan diantara ilmu-ilmu spesifik, terutama yang eksakta, sebab dengan jelas berciri normatif. Ekologi tidak hanya mempelajari struktur alam dunia tetapi juga menentukan norma-norma untuk memelihara dan mengembangkannya. Maka tak heran jika pada banyak literatur para ahli secara tegas menyatakan visi ekologi memiliki basis etika yang mendalam karena menghadapi destruksi alam sekaligus destruksi kemanusiaan di masyarakat.
Terkait hal tersebut, gagasan Shiva tentang ekofeminisme berhasil melahirkan literasi lingkungan melalui pemaparan realita yang penuh empati. Ekofeminisme dengan berani telah menghubungkan feminisme dengan ekologi yang tidak hanya mempunyai tuntutan pada kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki melainkan juga mengembalikan kesadaran tentang kepedulian terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh menghilangnya kualitas feminim dalam pengasuhan dan pemeliharaan alam.
Dalam gerakannya, ekofeminisme mengkritik para feminis yang mengajak perempuan membuang nature, karena semakin ramai perempuan yang mengadopsi kualitas maskulin, mengakibatkan struktur dunia bersifat maskulinitas dengan identik penindasan.
Menurut Shiva, hasil dari merajalelanya prinsip maskulinitas adalah kekerasan terhadap kaum miskin dan perempuan, penghancuran alam dan lingkungan, penghancuran terhadap sistem pengetahuan non-rasionalisme. Sehingga kerusakan lingkungan lebih banyak disebabkan oleh mental dan nalar antroposentris yang tidak bersahabat dengan alam. Antroposentrisme yang merusak justru ditahbiskan kesucian epistemologinya oleh ilmu pengetahuan. Sementara ilmu pengetahuan modern ialah kabar buruk dari ideologi patriarkal barat.
Gerakan Shiva merupakan cermin dari gagasan yang hendak menyeimbangkan kekuatan maskulin dan feminim tanpa dominasi berlebih agar tidak menyebabkan degradasi moral yang berdampak buruk pada eksistensi seluruh makhluk hidup.
Selain berkenaan dengan masalah eksploitasi, ekofeminisme juga berkaitan erat pada adanya hubungan historis antara perempuan dan alam;
Bumi oleh nenek moyang disebut sebagai Ibu Bumi, Ibu Pertiwi atau Ibu Shinta. Pertiwi (bhs Sanskerta: pṛthivī matā) itu sendiri berarti Dewi atau Ibu Bumi (atau dalam bahasa Indonesia Ibu Pertiwi). Dalam Kitab Rgveda, Ibu Pertiwi ini adalah antonim dari Bapak Angkasa karena bumi dan langit seringkali disapa sebagai sebuah pasangan.
Namun, mengapa bumi itu disebut sebagai Ibu?
Ini tak lain adalah karena bumi menjadi tempat di mana manusia lahir dan ke mana jasad mereka kelak berbaring. Bumi yang memberikan kehidupan terhadap seluruh makhluk di dunia ini, makanan dan minuman manusia berasal dari sari-sari bumi dalam wujud flora, fauna, maupun air. Artinya, bahwa bumi mempunyai peran sebagai yang melahirkan, menumbuhkan dan memelihara segala makhluk. Oleh karena itu, laksana perempuan yang menjadi penopang kasih keluarga, keberadaan bumi juga memiliki peran yang sama bagi setiap entitas di dalamnya.
Bagaikan tubuh perempuan yang harus dirawat kecantikannya, bumi pun harus dijaga keindahan dan kelestariannya.
Ekofeminisme memiliki manifesti yang disebut “S Declaration of Interdependence” yang isinya adalah:
“When in the course of human events, it becomes necessary a new bond among people of the earth, connecting each to the other, undertaking equal responsibilities under the laws of nature, a decent respect for the welfare of humankind and all life on earth requires is to declare our interdependence… that humankind has not woven the web of life: we are but one thread within it. Whatever we do to the web, we do to ourselves.”
Secara sederhana, gagasan yang telah dipaparkan di atas menyadarkan manusia bahwa perjuangan feminisme dan perjuangan ekologis adalah gerakan yang saling memperkuat, demi keberlangsungan hidup bersama. Makna ekofeminisme lebih luas dari sekadar gerakan ego untuk membuktikan mana yang lebih hebat antara perempuan dan laki-laki saja. Gerakan ini mengkritisi kompetisi, agresi dan dominasi yang dihasilkan oleh ekonomi modern dan bersatu dengan ekologi menjadi gerakan pembebasan.
Gagasan ini sungguh ideal dan hampir semua agama megajarkan demikian. Seperti dalam al-Qur’an,
“Barangsiapa yang melenyapkan satu jiwa, maka seolah-olah melenyapkan seluruh jiwa. Dan barangsiapa yang menyelamatkan satu jiwa maka seolah-olah menyelamatkan seluruh jiwa” (Q.S. al-Maidah, ayat 5:32).
Maka semoga kita semua senantiasa dilembutkan hatinya untuk saling menjaga, baik soal kehidupan ruh, jiwa maupun denyut nadi alam semesta.
Referensi :
Shiva, Vandana dalam www.mediaindonesia.com “Melalui Multimedia, Pecinta Alam Dan Pendidikan Membangun Lingkungan” oleh Joko Setyo Utomo
http://sinarharapan.co/news/read/140422035/Alam-bagai-Tubuh-Perempuan-span-span-
Sumber ilustrasi gambar :
pinterest.id
Diunggah untuk memenuhi tugas mata kuliah Jurnalisme Lingkungan.