Madeleine menungguku

Oleh : René Char

Zury Muliandari
4 min readMay 12, 2020

27 Januari 1948

Aku baru selesai makan malam dengan temanku Jean Villeri, si pelukis. Sudah jam sebelas lebih. Aku sudah di dalam metro menuju rumah. Ganti kereta di Trocadero. Badanku terasa berat dan capek, namun aku merasa senang mendengarkan suara kakiku di terowongan stasiun.

Tiba-tiba, seorang perempuan yang sedang berjalan ke arah berlawanan menyapaku, kelihatannya ia telah lama mengamati gerak-gerikku. “Maaf, apakah anda punya kertas untuk menulis sesuatu?” Aku menjawab tidak, sambil, sepertinya, tersenyum kecil. Perempuan ini berkata, “Ada yang lucu?” Aku menjawab tidak, tentu tidak, mana mungkin… kemudian dengan sedikit sedih aku berkata: “Ya, mungkin juga.”

Perempuan ini kurus, pucat, tapi matanya jernih berkilat. Penampilannya agak aneh. Ia berjalan dengan santai, seakan-akan dunia ini bukan neraka. Sama seperti aku.

Aku mencoba mencari keayuan dalam sosoknya yang menyedihkan. Percobaan yang gagal. Mukanya yang lonjong, dahinya, sorot matanya seharusnya menarik perhatianku. Namun aku malah mencoba menghindarinya.

Begitu sampai di St. Cloud, aku langsung masuk ke dalam kereta. Ia ikut naik di belakangku. Aku berjalan terus di dalam kereta mencoba meninggalkannya. Tidak ada gunanya. Aku buru-buru turun di Michel-Ange-Molitor. Tapi langkahnya yang ringan menyusulku dan tahu-tahu ia sudah berada di depanku.

Nada suaranya sekarang lain. Memohon, tanpa malu-malu. Aku mengatakan dengan singkat, semua ini harus berhenti sekarang juga. Ia berkata:

“Ah, Anda salah mengerti. Bukan itu maksudnya! Anda salah.”

Angin malam membuat kekurangajarannya jadi terasa anggun.

“Anda bertemu saya di sini, di terowongan stasiun yang kosong, dan Anda berpikir saya menawarkan sebuah petualangan?”

“Di mana rumahmu?”

“Jauh dari sini. Anda tak mungkin tahu.”

Ingatan tentang petualanganku mengejar misteri di masa lalu, waktu aku pertama kali menemukan arti kehidupan dan puisi, memenuhi kepalaku. Ingatan ini sangat mengganggu, dan aku berusaha mengusirnya. “Aku tidak mudah tergoda (bohong) dengan kemustahilan, tidak seperti dulu. Aku sudah menyaksikan terlalu banyak penderitaan (sehina apapun).”

Ia menjawab: “Berubah pikiran tidak akan menambah penderitaan. Coba saja. Anda tidak akan menyaksikan kematian Anda sendiri.”

Ia menghela napas: “Malam ini rasanya basah sekali.”

Aku pun merasakannya.

Rue Boileau yang biasanya seperti jalan kampung yang tenang, malam ini putih berlapis es. Tapi di langit tidak ada bintang sama sekali, betapa pun kerasnya aku mencari. Aku melirik perempuan muda itu:

“Siapa namamu?”

“Madeleine”

Aku tidak terkejut. Tadi siang aku baru saja menyelesaikan puisi yang kuberi judul Madeleine di Bawah Cahaya Lampu, diilhami lukisan Georges de La Tour. Menulis puisi ini rasanya seperti diinterogasi. Puisi inilah yang membuatku merasa begitu lelah. Perempuan inilah alasannya kenapa aku menulis puisi tadi. Bagaimana mungkin tidak? Dua kali hal yang sama telah terjadi begitu selesai menulis puisi yang hampir membuatku lumpuh. Aku tidak perlu meyakinkan diriku lagi. Perasaan dan ilham datang bersamaan dengan Kenyataan semesta. Ini tidak mungkin dicapai tanpa ijin Yang Mahakuasa. Kurasa aku belum gila. Aku bukan satu-satunya orang yang kadang-kadang dikaruniai bukti-bukti Ilahi ini.

“Madeleine, kamu sudah begitu sabar, dan begitu baik, mari kita jalan sama-sama sebentar.”

Kami berjalan berdampingan di bawah langit malam yang terasa begitu dekat. Aku menggandeng tangan Madeleine dan merasakan sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang sedang kelaparan.

Perasaan itu timbul, kemudian segera hilang, meninggalkan kekosongan yang berat, dan pada saat yang bersamaan, kepuasan memuncak seperti yang aku rasakan setiap kali membubuhkan tanda titik terakhir dalam puisiku.

Sekarang sudah setengah jam lewat tengah malam. Avenue de Versailles dan sinar lampu pucat dari stasiun metro Javel muncul dari bawah tanah. “Di sini kita berpisah.” Aku sempat ragu-ragu, namun tubuhnya yang kurus sudah telanjur melepaskan diri dari rangkulanku. “Cium aku, aku ingin berpisah selagi aku bahagia….” Kupeluk kepalanya dan kucium matanya, rambutnya. Bagai lapangan berumput yang basah oleh embun malam.

Madeleine lenyap, ditelan oleh tangga-tangga stasiun metro. Pintu-pintu besinya masih terbuka, dan sebentar lagi akan ditutup.

Aku bersumpah semua ini benar-benar terjadi kepadaku, tidak bisa dibilang tanpa meninggalkan semacam perasaan cinta, seperti yang telah aku kisahkan, malam ini, suatu malam di bulan Januari.

Kenyataan yang tinggi hati tidak akan menolak mempersembahkan diri kepada yang menghargainya, bukan kepada yang bermaksud menghina maupun memenjarakannya.

Syarat yang jarang bisa dipenuhi oleh kita yang tak pernah suci ini.

Catatan :

Karangan di atas ditulis oleh René Char (1907–88) adalah salah satu penyair Prancis terbaik sepanjang masa. Awalnya ia bagian dari gerakan penyair Surealis Prancis di paruh pertama abad ke-20. Setelah Perang Dunia II — di kampungnya Provence ia menjadi komandan pasukan gerilya maquis melawan Nazi Jerman — puisinya menjadi makin eksistensialis dan penuh refleksi metafisik.

Penerjemah : Mikael Johani, lahir di Yogyakarta. Besar di Madiun, Yogyakarta, Jakarta, Canberra, Sydney. Mulai menua di Tangerang dan Jakarta. Penyair, kritikus sastra, kurator film, penerjemah. Buku puisi pertamanya berjudul We Are Nowhere And It’s Wow (irisPustaka, 2008). Tulisan-tulisannya yang lain pernah dimuat di antologi puisi What’s Poetry?

Sumber : redaksiselatan

--

--

Zury Muliandari
Zury Muliandari

Written by Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy

No responses yet