Dimensi tanya #kelima : memoar luka

“… aku tidak setegar Hawa yang biarpun dikelilingi kesunyian abadi, ia tetap tegak di puncak-puncak bukit dan badai dan tetap tegar menantang dengan riak-riak doa yang tersisa …” — Muhidin M. Dahlan

Zury Muliandari
3 min readMay 7, 2020

Anakku yang cantik, bacalah surat ini jika suatu hari kau bertanya tentang mengapa bukan kata mawar, anggrek, melati, atau bahkan matahari yang tersemat pada nama belakangmu.

Nak, saat ini aku sedang dipasung kemarahan masa lalu. ingatanku dijejali paku, menusuk satu-persatu kisah pilu — penuh gincu yang membisu. sementara lenganku sedang mencari beberapa kain perca, hendak menyulamnya kembali jadi selendang untuk memeluk tubuhku — yang dini hari menggigil kaku. namun, tak kutemui kain itu. hanya ada sebuah sapu tangan yang kemudian kurobek menjadi dua bagian, guna menghapus air mani dan, air mata.

Nak, faktanya ibumu ini adalah pelacur kelas rendah. mewarisi keturunan indah yang mesti kau syukuri dengan tabah. sebab nak, aku tak akan mengajarimu untuk mengutuk kenyataan apalagi lancang menyalahkan Tuhan, hanya karena engkau dilahirkan dari rahim seorang perempuan murahan.

Iya, aku memang sering dibayar murah.

Nak, sudah sejak lama kulelang tubuhku kepada banyak sekali pria jalang. yang pada sebagian malam aku dibuat senang mabuk kepalang, namun pada malam-malam lain, sisa nyawaku bahkan terasa lebih malang dari seonggok anjing kelaparan yang dibuang majikannya ke pinggir jalan. sekarang hakmu sayang, untuk memanggilku dengan sebutan bajingan.

image by pinterest

Tetapi sungguh aku telah melawan garis takdir semampuku, bahkan setiap petang mencabik paksa selangkanganku. membakar separuh wajah dan meminum sendiri dua racun di dadaku. hingga akhirnya aku kalah, nak. mungkin karena hidup memang terlanjur menelanjangi seluruh nalar serta kalbu milik ibu. dan bergetarkah kini sabda kebencian di nadimu?

Nak, para leluhur berkata; nama adalah doa. maka bagimu kupilihkan Bunga Udumbara. sebuah arti yang disebut dalam kitab Buddhis aliran Mahayana, adalah sekuntum bunga yang berasal dari surga. kelopaknya berwarna putih, bermakna suci.

kau tahu? bunga ini hanya mekar satu kali selama 3000 tahun. tetapi ketika waktunya mekar, ia akan membawa keberuntungan. Udumbara pun sangat sulit diketahui keberadaannya, ia pandai merumahkan diri dan menjaga mahkotanya yang istimewa. meski begitu, Udumbara tak hanya hidup di atas tanah, ia juga dapat mekar di atas kayu, daun dan air. Udumbara menyatu dengan semesta dan memberikan banyak cinta kepadanya. aku ingin engkau seperti itu, buah hatiku.

Nak, alam memang tak pernah habis menyimpan misteri dan keindahan yang tiada terduga. kehadiranmu, misalnya. yang mencatatkan satu memoar luka namun berisi berita bahagia, bahwa perjalananku di dunia bukan hanya meniti kubangan dosa. sebab engkau ada; di bawah telapak kakiku — kini telah sudi dinaungi surga.

Nak, faktanya ibumu ini adalah pelacur kelas rendah. mewarisi keturunan indah yang mesti kau syukuri dengan tabah. sebab nak, aku tak akan mengajarimu untuk mengutuk kenyataan apalagi lancang menyalahkan Tuhan, hanya karena engkau dilahirkan dari rahim seorang perempuan murahan.

jangan pernah
salahkan
Tuhan.

engkau kutimang,
dengan nyanyian kebaikan

maka berbaktilah pada hidup dan kehidupan
seperti namamu, yang harum juga
menghimpun keistimewaan

maka jangan ada tanya, mengapa semua nestapa mesti kau terima tanpa cela.

Bunga Udumbara, from google images.

#fiksiminizury

--

--

Zury Muliandari
Zury Muliandari

Written by Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy

No responses yet