Dimensi tanya #kedua : bagaimana caranya berani mengaku lemah?

Zury Muliandari
3 min readMay 1, 2020

Jika kau tak sanggup lagi bertanya, kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan. -Wiji Thukul

Entah sejak kapan, Rahman mulai menyadari bahwa kepalanya hampir mirip dengan surau di pesisir pantai, bangunan kecil milik zat yang maha besar. bangunan tua yang dindingnya sudah terlampau lapuk sebagai tempat orang-orang bersandar. bangunan mulia yang jadi dahan bagi gugurnya dosa-dosa kala mereka pernah mekar.

Iya, surau itu diisi oleh banyak sekali nafas yang mengembuskan doa ke langit, berharap, memohon, merendah, bersujud bahkan menangis saat tiba kumandang adzan.

Namun, atapnya bisa digulung kapan saja oleh gelombang dahsyat dari dasar lautan. Sebab kerangka bangunan tak memenuhi syarat mitigasi tsunami yang diketahui berpotensi tinggi menghabisi wilayah tersebut. Jika hal itu terjadi, maka surau akan hancur dan orang-orang harus menelan kabar kehilangan untuk meliburkan ritual sakralnya.

Lalu bagaimana dengan Rahman?

Barangkali pemuda yang berusia seperempat abad itu juga bernasib sama. Barangkali kepalanya memang mirip seperti itu, atau--serenta surau tua itu. Barangkali kepala-kepala lain yang selama ini rebah di pundaknya pun tak pernah sadar bahwa tubuh Rahman lebih rapuh dari kerapuhan mereka. Bedanya hanya ketika lelaki ini hancur, bukan bencana alam yang memporak porandakan dirinya, melainkan bencana pikiran.

Rahman terus bermunajat dalam banyak kebimbangan, di antara kalut yang kemelut ia masih saja malu bertanya pada nuraninya tentang bagaimana cara berani untuk mengaku lemah. Ia terlanjur memberi sekat yang begitu jauh bagi kejujuran datang mendekat. Karena Rahman selalu ahli memainkan perannya sebagai laki-laki yang seolah paling kuat, sungguh prinsip maskulinitas itu betul-betul melekat dan ia pegang erat-erat bahkan hingga hari ini saat ia menahan sekarat.

...

Rahman sayang,
bukankah namamu yang indah itu berarti penuh belas kasih?

Iya, kau memang pandai mengasihi saudara-saudaramu. Tapi tak kah ingin kau kasihi juga dirimu seperti itu?

Rahman sayang,
bertanya itu baik.

Terlebih bertanya pada diri sendiri akan buatmu memikirkan jawaban---sebagai penopang kaki agar terus mampu berpijak-bertahan-melangkah.

Rahman sayang, di kepingan supernova dituliskan bahwa kebenaran akan menelanjangi dirinya sendiri dengan cara yang tak diduga-duga.

Bagaimana jika kebenaran itu adalah sebuah kenyataan yang bicara bahwa sekuat-kuatnya engkau, dirimu juga perlu seorang penguat. Akankah kau malu jika ditelanjangi seperti itu?

Dan bukankah kebenaran seringkali diibaratkan dengan sumber air yang hanya mengalir ke tempat yang selalu lebih rendah?

Jika kau setuju, maka sudah seharusnya hatimu direndahkan di hadapan aliran air itu, agar lenganmu selalu sampai menyentuh manfaatnya dan sanggup membagikan lagi ke muara-muara kecil milik banyak hati yang lain. Aku yakin, kelak bencana pikiran mau mengurungkan niatnya untuk datang. Dan kau, akan terselamatkan.

Ohiya ada penyair yang bilang, "jika kau tak sanggup lagi bertanya, kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan." dan aku tak ingin keputusan itu mematikan dirimu sendiri, Rahman.

Beranilah bertanya, ketahui apa yang kau butuhkan, cari jawaban--dan temukan bantuan. Jangan dulu dikalahkan ombak, jangan melulu bungkam, mulailah berteriak. Sebab telinga Tuhan selalu mau mendengarmu kapanpun dadamu sesak.

Aku menyayangimu.

#fiksiminizury

--

--

Zury Muliandari
Zury Muliandari

Written by Zury Muliandari

Perihal pekerjaanku; menjadi penulis untuk kantor di kepalamu | Mari terhubung, IG: @zu.ryyy

No responses yet