di antara sastra dan arsitektur, punggung lelaki itu yang saya cinta.
meski telah ia jatuhkan hatinya untuk perempuan lain—di sana.
Lagu terbaru berjudul Memori Baik yang dirilis Sheila on 7 pada pertengahan Januari ini, seolah jadi nyanyian yang ‘pas’ untuk disenandungkan dalam masa-masa melepaskan.
Irama musik khas SO7 yang ringan dan membahagiakan makin terdengar fresh dengan sentuhan vokal dari Aishameglio. Seakan melodi indah dalam lagu ini ingin sekali menyamarkan lirik-liriknya yang dalam dan reflektif.
“Ternyata, semua, bertumbuh pada akhirnya”
Usai beberapa bulan menangisi kisah cinta yang kandas, saya mulai berani ‘menoleh ke belakang’ tanpa sesak kemarahan.
Tentu rasanya masih aneh dan (sedikit) menyebalkan. Masih terekam di ingatan saya bagaimana kala itu — saya tidak tahu pasti mengapa hubungan kami berakhir. Tidak ada alasan yang benar-benar valid untuk membuat saya percaya jika berpisah adalah keputusan terbaik.
“Segenap cinta yang kau berikan tak akan hilang”
Menandai perpisahan itu, saya mendapati diri yang enggan melanjutkan hari-hari di kota yang sama. Sebab saya mencintainya dari rangkaian bahasa yang kami yakini sepaham; bahasa ruang.
Dia adalah seorang arsitek yang gemar bercerita tentang alasan puitik dari sebuah gedung terbentuk. Dia menjawab banyak pertanyaan saya soal mengapa gedung-gedung tinggi di Jakarta tak dibangun sesuai etika lingkungan. Dia memiliki sudut pandang yang selalu menarik untuk saya susun dalam narasi. Dia begitu mirip dengan tokoh utama yang ingin saya abadikan dalam karya sastra.
Dan begitulah saya, mudah sekali meromantisasi sesuatu hanya karena bersinggungan dengan hal-hal yang saya cinta.
Kendati demikian, kasih yang pernah ia lekatkan pada diri saya, tetap tergambar tulus bahkan sampai detik ini. Pun saya tidak akan mengenang itu sebagai penyesalan, karena saya merasa ‘hidup’ saat bersamanya.
“Melangkah dengan pilihan yang kau punya, kami di sini kirim rindu yang sama”
01 Januari 2025,
Waktu saya kembali aktif di akun Instagram adalah waktu pertama juga saya berani melihat unggahan instagram storiesnya. Dan benar saja, hari itu ia mengunggah foto seorang perempuan berambut panjang (padahal beberapa bulan lalu ia bilang lebih suka kalau rambut saya dipotong pendek wkwk)
Entahlah, naif kalau saya tidak cemburu. Terlebih momen itu bersamaan dengan saya yang sedang berada dalam kereta Argo Parahyangan. Rasanya hari pertama di tahun baru betul-betul memaksa saya menjadi sosok yang baru pula.
Untungnya meninggalkan Jakarta adalah pilihan tepat — dan Bandung menyambut saya dengan hangat.
“Tak mudah, kadang tak mudah jalannya”
Yang buat saya terkagum, tangan Tuhan selalu bekerja kala tubuh tak kuasa bergerak. Saya pikir, “hari baru” cuma omong kosong. Saya pikir, saya akan terus larut dalam kekalahan hubungan itu.
Namun dengan cara-cara semesta yang belum juga saya pahami betapa magisnya, saya malah ditempatkan pada situasi yang tak henti-hentinya saya syukuri.
Saya tahu jalannya akan berliku, tetapi saya mau menyusuri jalan itu.
“Kau yang terbaik, memori baik”
Lantas siapapun yang pernah singgah (meski tak sungguh), saya berterima kasih atas pelajaran dan sepotong cerita manisnya.
Suatu ketika di tanggal-tanggal kalender yang belum kita tandai akan bertualang ke mana, bisa saja kita berjumpa sebagai orang asing yang punya memori baik di masa lalu. Saya harap nanti, tiada lagi amarah yang tersisa. Tiada lagi rindu yang mengutuk temu. Tiada lagi asumsi tentang siapa yang paling tersakiti dalam cerita ini.
“Semoga doa yang tersampaikan, jadi cahaya jalan di depan”