20 Tahun Novel Cantik Itu Luka, Memoar Abadi dari Halimunda
Tulisan ini akan diawali dengan ingatan tentang tugas akhir yang begitu esensial karena membantu saya menamatkan studi strata 1 tepat setahun yang lalu. Tugas itu saya beri judul Konstruksi Makna Cantik dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan (Analisis Semiotika Roland Barthes).
Dalam proses analisisnya, saya ditemani beragam emosi dan pertanyaan-pertanyaan kontemplatif yang jawabannya bersinggungan dengan pengalaman traumatik yang pernah saya alami. Oleh karenanya, tugas akhir tersebut, bagi saya lebih dari sekadar karya ilmiah. Sebab juga berarti sebagai memoar dari perenungan diri, pendewasaan perspektif, dan dokumentasi literatur paling personal yang layak jadi referensi akademis untuk kajian serupa.
Tentang Novel Cantik Itu Luka
“Di satu sore, seorang perempuan bangkit dari kuburannya setelah dua puluh satu tahun kematian. Kebangkitannya menguak kutukan dan tragedi keluarga, yang terentang sejak akhir masa kolonial. Perpaduan antara epik keluarga dibalut roman, kisah hantu, kekejaman politik, mitologi, dan petualangan. Dari kekasih yang lenyap ditelan kabut hingga seorang ibu yang menginginkan bayi buruk rupa.”
Novel Cantik Itu Luka (2002) atau dalam bahasa Inggris berjudul Beauty is a Wound karya Eka Kurniawan sudah diterjemahkan ke dalam 34 bahasa asing. Novel ini bahkan masuk nominasi 100 buku berpengaruh versi The New York Times, sejajar dengan One Thousand Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez yang juga pengarang Love in The Time of Cholera yang pernah meraih Nobel Sastra di era 80-an. Novel Cantik Itu Luka juga memenangkan World Readers Award (2016) di Hongkong dan memasuki daftar 10 besar novel terjemahan terbaik versi situs sastra bernama Literary Hub yang berpusat di New York, Amerika Serikat.
Eka Kurniawan juga terpilih sebagai salah satu “Global Thinkers of 2015” dari jurnal Foreign Policy. Ia menjadi penulis Indonesia pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize. Sementara penghargaan lainnya mungkin akan lebih menakjubkan bila disebut di sini:)
Selain dibanggakan karena tersorot oleh dunia sastra internasional, novel pertama karya Eka Kurniawan ini mendapat apresiasi besar sebab menaruh perhatian penting terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai kondisi masyarakat di masa akhir kolonial.
Novel ini memperlihatkan adanya mitos kecantikan yang menimbulkan permasalahan sosial dalam konteks ketidakadilan gender. Mitos kecantikan itu menyebabkan eksistensi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dipersoalkan secara kompleks dan rinci. Melalui cerita yang memuat banyak sekali kontroversi, saya marah dan jatuh cinta berkali-kali pada setiap detail narasi dan karakter yang dibangun di dalam karya ini.
Meskipun pandangan mengenai kecantikan dan stereotipenya seringkali menjadi kebenaran natural yang seolah dipandang sebagai nilai normatif, nyatanya perbedaan sudut pandang Eka Kurniawan sebagai penulis novel dengan pendapat umum mengenai konstruksi makna cantik adalah ‘masalah’ yang paling membuat saya antusias saat merampungkan tugas akhir tersebut.
Cantik Itu, Luka?
Berdasarkan studi yang saya lakukan, terdapat 2 jenis konstruksi makna cantik dalam novel Cantik Itu Luka, yaitu makna cantik yang dideskripsikan dari penampilan fisik dan cantik yang dimaknai sebagai luka batin.
Kecantikan sebagai bagian dari penampilan fisik anggota tubuh manusia dimaknai dengan nilai-nilai budaya seperti yang dibayangkan dan dimengerti oleh masyarakat. Tubuh menjadi tubuh seperti apa yang telah dikonstrusi oleh sebuah budaya dan pemaknaan atas tubuh dapat berbeda tergantung dari budaya yang berbeda pula.
Saraswati dalam bukunya yang berjudul Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia (2013) menyatakan konsep cantik yang awalnya mengacu pada penggamabaran tokoh perempuan dalam pewayangan, akhirnya berubah menjadi kriteria cantik wanita-wanita Eropa. Hal itu didasarkan pada efek dari penjajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun di Inonesia. Mereka memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia melalui surat kabar atau majalah yang mereka bawa.
Kemudian, setelah kependudukan Belanda berakhir, Jepang mengambil kekuasaan di tanah air selama kurang lebih tiga tahun. Saraswati juga menambahkan bahwa konsep cantik yang berlaku pun berubah, dari yang mengacu pada keindahan tubuh perempuan Eropa lalu menjadi tipikal ideal perempuan cantik Asia yang diusung oleh Jepang. Namun, tetap saja kriteria wanita cantik yang mereka usung haruslah memiliki kulit putih.
Pada novel Cantik Itu Luka, tokoh Dewi Ayu telah mencapai titik kesadaran bahwa kecantikan yang dimiliki oleh tubuhnya berdampak pada konstruksi sosial tempat tubuhnya berada, sebab pada dasarnya, bagaimana perempuan menilai tubuhnya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan.
Di Halimunda (latar fiktif dalam novel), perempuan yang berketurunan peranakan campuran juga dianggap lebih cantik daripada perempuan pribumi. Kecantikan tersebut ditandai oleh perawakan tubuh dengan tinggi dan berat ideal, berkulit putih dan mulus, rambut hitam bercahaya, mata bulat dengan warna kebiruan, dan sikap yang lemah lembut. Di sisi lain, kecantikan perempuan pribumi yang berpenampilan sesuai dengan norma adat menempati posisi istimewa tersendiri bagi masyarakat Halimunda meskipun diberi penghormatan yang berbeda dengan perempuan peranakan campuran. Hal tersebut karena kriteria perempuan cantik pada novel Cantik Itu Luka juga dikonstruksikan memiliki wajah yang memancarkan aura, seperti yang diceritakan dalam pewayangan Ramayana.
Kecantikan fisik perempuan dalam novel Cantik Itu Luka juga seringkali dikaitkan dari sisi sensualitasnya, hal tersebut terlihat karena kecantikan yang dimiliki oleh para tokoh perempuan pada novel dikonstruksi untuk memikat nafsu birahi laki-laki sehingga peran perempuan hanya sebagai objek perilaku seksual. Perilaku seksual tersebut memiliki sifat yang sangat luas, mulai dari berdandan, merayu, menggoda hingga melakukan aktivitas seperti hubungan seksual.
Melalui novel Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan berusaha memperjelas bahwa kecantikan secara fisik seringkali menjadi dualisme dan bumerang bagi kaum perempuan. Dengan penampilan dan kecantikan fisik yang dimilikinya, perempuan sangat rentan mendapat perlakuan yang tak menyenangkan seperti pelecehan seksual bahkan kekerasan fisik.
Kemudian dalam novel ini pula, kecantikan dimaknai dengan cara berbeda dari pandangan umum, yaitu tidak hanya secara fisik yang dilambangkan dengan keindahan namun sebagai luka atau rasa sakit.
Kecantikan wajah yang dimiliki oleh tokoh Dewi Ayu serta tiga orang anak perempuannya telah membuat mereka menjadi korban atas kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh tentara Jepang. Kekerasan tersebut tidak hanya meninggalkan luka di tubuh para tokoh tetapi juga menyebabkan adanya luka batin. Pengalaman traumatik itu, misalnya terjadi pada tokoh Dewi Ayu yang diperlakukan kasar oleh Shondancho saat ia dipaksa menjadi seorang pelacur.
Kekerasaan lainnya terjadi pada tokoh Alamanda yang juga diperkosa oleh Shondancho karena kecantikannya yang begitu menggoda, hingga setelah ia menikah dengan Shondancho kekerasan tersebut berubah menjadi luka batin yang setiap hari dialaminya. Begitu pula yang menjadi problematika Rengganis Sang Putri yang merasa kecantikannya menjadi sumber peperangan para prajurit dan membuat ia terpaksa mengurung diri agar kehadiran dirinya beserta penampilan fisik yang sungguh menawan tidak menjadi malapetaka bagi banyak orang.
Sementara gangguan psikis pada Dewi Ayu terlihat dari sikap-sikapnya yang sangat spontan dan cenderung tidak masuk akal. Beberapa penelitian menyebut bahwa Dewi Ayu mengalami kompleks elaktra, yaitu kompleks oedipus anak perempuan, yang seluruh hasrat perasaan cinta dan benci anak terhadap orang tua telah dialaminya pada tahap phalik ketika anak berusia tiga atau empat tahun.
Kompleks elaktra membuat Dewi Ayu tetap tinggal di Indonesia saat keluarganya kembali ke Belanda. Ia bahkan menikahi lelaki tua Ma Gedik hingga memutuskan menjadi pelacur. Karena hasrat cinta pada orang tua tersebut ia kemudian berhubungan seksual pertama kali dengan seorang komandan Jepang untuk mendapatkan obat dan dokter bagi tahanan pribumi. Kompleks elaktra pula yang memunculkan narsisme dalam dirinya.
Gejala narsisme primer dalam diri Dewi Ayu terlihat dari awal ia menjadi pelacur di rumah tahanan, yaitu ketika semua tahanan perempuan melakukan pemijatan untuk mencegah kehamilan hanya dialah seorang diri yang tidak melakukannya dengan alasan hamil karena disetubuhi, bukan karena tidak dipijat. Bayi dalam kandungannya merupakan identifikasi dirinya sendiri yang dapat ditafsirkan sebagai perwujudan hasrat untuk bersatu dengan ibu yang sudah disesuaikan dengan tuntutan realita, suatu hasrat yang masuk ke masa prenatal, yakni ketika masih di dalam kandungan.
Singkatnya, pandangan yang membedakan makna cantik dalam novel ini dengan cantik secara umum terletak pada respon psikologis tokoh-tokoh perempuan di dalam novel terhadap kecantikan fisik yang dimiliki. Respon psikologis itulah yang kemudian membentuk konstruksi dasar bahwa cantik adalah sebuah luka atau penderitaan.
Perspektif tersebut agaknya dibingkai untuk memperluas pandangan masyarakat mengenai makna cantik yang realitanya tidak selalu memiliki konotasi positif. Melalui kompleksitasnya, kecantikan tidak dapat dinilai secara parsial hanya sebagai keindahan semata melainkan memiliki berbagai dampak negatif terutama bila dihadapkan dengan situasi sosial yang didominasi ideologi patriarki seksis.
Mitos cantik dalam novel Cantik Itu Luka
1. Kecantikan Sebagai Identitas Sosial
Novel Cantik Itu Luka memberi pemaknaan bahwa kecantikan adalah bagian dari sistem budaya yang ditampilkan melalui simbol sehingga manusia dengan kecantikan yang direpresentasikannya memiliki cakupan tubuh yang pada awalnya bersifat natural, tetapi selanjutnya dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial. Pemaknaan terhadap tubuh sosial itu kemudian menjadi unsur stratifikasi dalam masyarakat Halimunda yang menempatkan tubuh perempuan cantik berada pada tingkatan lebih tinggi dan lebih dihormati daripada tubuh perempuan yang tidak cantik sehingga membuat tubuh menjadi bagian dari penanda status sosial.
Seperti yang diketahui, Dewi Ayu adalah perempuan paling cantik di Halimunda. Sebagai peranakan Belanda-pribumi, ia memiliki kelebihan fisik yang mengagumkan. Dia bermata agak kebiruan dengan kulit yang putih bersih. Hal tersebut tak dimiliki perempuan pribumi yang memiliki mata berwarna gelap dan kulit sawo matang.
Dewi Ayu kemudian menjadi “kiblat” kecantikan di Halimunda. Sehingga ketiga anak perempuannya juga mewarisi kecantikan ibunya. Kecantikan mereka dikagumi oleh masyarakat. Sementara perempuan pribumi menjadi kelas kedua karena permasalahan rasial. Kecantikan yang berdasarkan status keturunan ini lalu menjadi identitas sosial bagi setiap perempuan di Halimunda.
2. Kecantikan Sebagai Persoalan Institusi Laki-Laki
Dalam wacana gender, kecantikan dihubungkan dengan institusi patriarki, kontestasi antarperempuan, dan industri kapitalistik. Berdasarkan kecenderungannya, semakin cantik seorang perempuan, semakin dia menjadi objek konsumsi dari patriarki.
Dalam novel Cantik Itu Luka diketahui bahwa tokoh Dewi Ayu yang paling banyak menerima konstruksi patriarki (institusi dan kekuasaan laki-laki) yang menjadikan tubuhnya sebagai objek seksualitas mereka. Sedangkan tokoh-tokoh perempuan lain dijadikan pendukung oleh Eka Kurniawan atas apa yang terjadi pada Dewi Ayu. Sehingga mereka menjadi satu-kesatuan yang melanggengkan mitos bahwa kecantikan sebagai persoalan patriarki (institusi laki-laki) yang menganggap tubuh perempuan sebagai objek.
Hal ini sesuai dengan pendapat Naomi Wolf, mitos kecantikan sesungguhnya bukan semata-mata tentang perempuan, namun lebih cenderung merupakan persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional.
3. Kecantikan Sebagai Sistem Pertukaran
“Kecantikan” adalah sistem pertukaran seperti halnya standar emas. Perempuan harus bersaing secara tidak alamiah demi sumber daya yang diberi harga oleh laki-laki, kata Wolf. Kecantikan membuat para perempuan tak ubahnya seperti barang yang memiliki harga, padahal manusia sebagai individu yang memiliki hak asasi tak bisa dinilai dari sistem pertukaran.
Sistem pertukaran dalam novel Cantik Itu Luka membuat tokoh-tokoh perempuan ditukarkan dengan alat tukar berupa uang. Seperti tokoh Dewi Ayu yang dipaksa menjadi pelacur di rumah pelacuran Mama Kalong. Pada awalnya dia tak dibayar, namun lama-kelamaan dia menjadi pelacur terbaik di Halimunda dengan bayaran termahal.
Kecantikan sebagai sistem pertukaran ini secara konstan telah mengeksploitasi perempuan. Perempuan diberi harga dari kecantikan dan tubuhnya. Semakin cantik, maka semakin mahal. Seperti Dewi Ayu yang memiliki kecantikan tubuh melebihi perempuan pribumi, dia memiliki harga termahal. Dengan demikian, kecantikan menimbulkan “harga” pada perempuan.
Anyway, itu hanya gambaran yang sangat dasar mengenai kedalaman dan problematika dalam novel Cantik Itu Luka, yang sampai saat ini masih ingin terus saya ulang membacanya. Untuk yang juga ingin, jangan ragu dan tunggu lebih lama. Mulai selami dan tenggelam pada halaman magisnya pula:’)
Dan, terima kasih sudah singgah di tulisan ini, ya!